Rabu, 13 Juni 2018

PANGERAN UNYENG-UNYENG 3 "MOVE MODE ON"

Semenjak Vita berubah, aku menjadi galau dan tidak punya semangat. Makan gak enak, tidur gak enak, pokoknya serba gak enak. Mungkin karena orang yang aku suka sudah gak mau lagi bicara denganku. Vita adalah cinta pertamaku di SMP, sejak aku memandangnya pertama kali aku sudah jatuh hati. Tapi sekarang pupus sudah harapan untuk memiliki hatinya.
            Kegalauanku ini ber-angsur-angur berkurang. Berkat hiburan dan candaan dari teman-temanku. Sedikit demi seikit aku bisa melupakan Vita. Supaya cepat melupakan Vita, aku melakukan segala kesibukan. Seperti menjadi anak band. Dulu, aku ingin menjadi seorang drummer. Bisa tampil diatas panggung. Supaya populer dan terkenal. Hehehe.
            Berkat imajinasi dan kenekatan di jaman dulu, aku, Bahtor, dan Rojek membentuk sebuah band yang sampai sekarang belum pernah mempunyai nama. Kami berlatih di studio band sehabis pulang sekolah. Harga sewa studio yang murah membuat kami semakin semangat. Yaaa, walaupun fasiitasnya jauh dari yang di inginkan, yang penting semua alat musiknya bunyi. Hahaha.

25 July 2011. Warung pos 58

            Aku di drum, Bahtor di bass, dan Rojek di gitar plus vokal. Kadang vokal di isi si banci kepet. Kadang Aden anak kriting dari wilayah barat juga mengisi gitas dan vokal, tapi dia jarang ikut latihan rutin. Lagu yang biasa kami bawakan adalah lagu-lagu pop. Seperti lagu yang berjudul “Kasih”, “Cari Pacar Lagi - ST 12”, “Rhyme in Peace – Bondan Prakoso”, dan masih beberapa lagi.
            Kami sering berlatih ngeband. Selain untuk menyenangkan hati, kami juga mempunyai target yaitu tampil di ulang tahun sekolah. Supaya populer dan terkenal tentunya. Hahaha. Kadang ketika latihan, kami merasa agak bosan dan bertukar tempat. Aku pegang bass, Aden di gitar, Rojek di drum, Bahtor di vokal. Hasilnya sudah bisa ditebak, Ancuuurrr !!!!
            “ Moon, tuker, aku pengen nge-drum” Pinta Rojek.
            “Yowes, aku tak bass ae. Aku kan gak bisa pake gitar…” Jawabku
            “Aku vokal yooo, Aden biar main gitar aja, “ Lanjut Bahtor.
            “Oke, laksanakan bos !” Sahut Aden
           
            1, 2…, 1, 2, 3,……
            “Taakkk, taakkk, taaakkk, duuunggg, duuungg, taaakkkk duuuunggg jessssssss !!!!!! Glontaaaaanggg, glontaaaaaaaanggg !!! Teeeeeeettttt……….. “
            “Jeeeeek, ngawuuurr, gimana sih mainmu ? Lihat simbalnya copot ituuu” Teriak Bahtor yang masih megang mic.
            “Woooooyyy jangan teriak, teriak, budek cuk !” Aden membentak
            “Waduuuuuuuh, pie iki ???” Aku khawatir
            “A*U, kok iso copot iki pie?” Rojek mengumpat
           
            Berkat permainan kasar Rojek memainkan drum, simbalnya copot. Kami kebingunan sendiri. Supaya nggak mencurigakan, kami memutar mp3 untuk mengelabui pemilik studio supaya tidak curiga kenapa musiknya berhenti dan nggak main lagi. Di sisa waktu 20 menit kami mencari akal supoya simbalnya bisa terpasang lagi. Akhirnya kami mencari-cari lakban atau selotip di tas kami, dan akhirnya kami menyelotip simbalnya supaya terpasang lagi. Kami menunggu waktu habis dan pergi secepatnya dari studio itu.

            “Jek, ngawur mainmu, gimana kalo kita dituntun ?” Tanya Bahtor khawatir
            “Aku nggak ikut-ikut lo yaaa, aku kan Cuma numpang” Sahut Aden
            “Yo gak bisa, kalo kita dituntut ya kita tanggung bareng-bareng” Jawab Rojek
            “Uang darimana kalo suruh ganti ? pasti mahal harganya itu.” Sahutku
            “Yaudah, sementara ini kita break latihan dulu biar petugasnya lupa, kita cari tempat lain saja.” Rojek memberikan usul
            “Okelah kalo begitu, semoga aja gak liat petugasnya.” Bahtor berharap-harap cemas.

            Setelah itu, kami break latihan selama satu setengah minggu. Hingga kami menemukan sebuah studio band lagi. Harganya sedikit mahal dibanding studio yang dulu. Tapi gakpapa demi misi ini, kami harus rela berkorban.
            Di studio band yang baru ternyata ada instrukturnya. Ada pelatihnya. Hal itu membuat kami menjadi sedikit kaku dan tegang. Alhasil kemampuan kami tidak terlihat maksimal. Dan yang paling nggak suka adalah pelatihnya galak, suka marah-marah kalo ada yang gak pas. Apalagi yang sering membuat kesalahan adalah diriku.

            “Woooy ! Main yang bener ! masa gitu aja salah !” Bentak pelatih.

            “Woooy ! Udah berapa kali diulang ini ?! Masih salah lagi ?” Bentaknya lagi
            “Mau sampek kapan salah terus kaya begini ?!”

            “Udah ! Satu lagu terakhir !!”

            Sepulangnya dari studio band, kami merasa tertekan. Tidak bebas dan tidak bisa mengeluarkan emosi dari jiwa kami masing-masing. Kami tidak bisa diperlakukan seperti ini. Kami menjadi kacau.
            Tak jauh dari studio band tersebut, muncullah Dwiky teman sekelasku.
           
            “Wik, mau ngapain kamu kesini ?” Tanyaku
            “Biasa mon, latihan ngeband, aku diajak kakak kelas.” Jawabnya
            “Loh, kamu bisa main band juga ?” Tanya Bahtor
            “Ya jelas dong brooo, aku kan punya studio band dirumah.” Jawabnya
            “Waaah, jago dong wik ? Kamu pegang apa ?” Tanyaku
            “Drum, mon.” Jawabnya

            Aku terdiam, ternyata selama ini Dwiky yang tubuhnya kecil mungil itu jago bermin drum. Aku menjadi keki. Aku menjadi bertamabah down. Aku menjadi tertekan. Apabila tampil di acara pentas seni itu, teman-temanku akan memiih Dwiky yang lebih jago dariku. Aku takkan tampil dan takkan menjadi terkenal maupun populer. Apakah ini akhir dari keinginanku menjadi drummer ? Apakah inikah akhirnya ? Apakah hanya seperti ini ……?
TO BE CONTINUED……