Selasa, 15 September 2020

Sebuah Keputusan

            Terlihat seorang laki-laki yang tengah menunggu seseorang di sebuah stasiun di Jogjakarta. Namanya Alil, dia adalah mahasiswa tingkat akhir yang seharusnya lulus tahun lalu. Dengan Hp di tangan kanannya dia scroll-scroll media sosial instragram. Cara terbaiknya membunuh waktu kala itu. Dia memakai jaket coklat kesukaanya, dengan celana jeans hitam dan sepatu vans yang sudah lumayan lusuh. Dari arah pintu masuk stasiun nampak seorang perempuan berlari terburu-buru. Dengan sesekali membenarkan tas yang digendongnya dia berlari menuju tempat duduk Alil yang masih sibuk dengan smartphone-nya.

            Sore itu awan telah menyelimuti langit. Siap untuk mengantarkan sesuatu kepada bumi. Namun, nampaknya itu masih belum terjadi. Disana terlihat dua orang yang tengah berbicara antara satu dengan yang lainnya.

       “Lil, sorry nunggu lama.” Ucap Ocha dengan ter-engah engah. Perempuan yang berlari menghampirinya.

              “Iya cha, lagian keretanya belum datang.” Jawab Alil

        “Kenapa tiba-tiba banget sih Lil? Kan aku ada kuliah, kalo nggak keburu gimana.?” Ocha mengeluh.

              “Ya, mau gimana lagi Cha? Mungkin ini waktu yang tepat Cha.” Kata Alil mulai terlihat ragu diwajahnya.

              “Mau ngomongin apa sih? Kenapa mesti ke Stasiun juga?” Ocha penasaran.

         Alil berdiam diri. Dia mencoba menguatkan dirinya untuk bisa mengatakannya. Dia sadar mungkin ini bukanlah keputusan yang diinginkan Ocha. Tapi ini mungkin keputusan yang terbaik bagi mereka.

              “Cha, aku mau kita putus.” Kata Alil pelan

              “Hah!?” Ocha kaget. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan pacarnya itu.

              “Kamu ngomong apasih?” Ocha kembali bertanya

              “Ya, aku mau kita putus.” Dengan tegas Alil kembali mengungkapkan kata-katanya.

            “Kamu sebenernya kenapa sih? Tiba-tiba ngajak ketemu di stasiun, lalu kamu ngomong kaya gini? Kamu ada masalah?” Tanya Ocha menyelidik

              “Kita gak bisa terus seperti ini.” Jawab Alil

            “Gak bisa kenapa? Apa yang gak kita bisa Lil? Jika kita bersama, aku yakin kita pasti bisa.” Ocha menguatkan

             “Aku yang gak bisa Cha! Tolong ngertiin aku!” Jawab Alil dengan nada tinggi.

             “Tapi kenapa?” Ocha masih bingung. Nampak sendu raut wajahnya. Matanya berkaca-kaca siap memuntahkan air mata yang begitu berarti.

              “Cha, tolong ngertiin aku. Aku menemukan duniaku yang baru.” Jawab Alil

          “Bawa aku bersamamu Lil! Di duniamu yang baru!” Teriak Ocha, menghiraukan keadaan di sekelilingnya yang lengang.

              “Di duniaku yang baru tidak ada kamu Cha.” Jawabnya singkat

            “Kenapa Lil?! Kenapa?!” Ocha berkata sambil terisak-isak. Air hujan mulai turun satu demi satu. Begitu juga dengan air mata Ocha. Keadaan semakin sendu dibuatnya.

            Lalu tiba-tiba datang seorang laki-laki tegap bertubuh proporsional datang menghampiri mereka. Alil menghampirinya. Ocha tak mendengar percakapan mereka. Dia sibuk terisak-isak dan memberekan air yang terus menetes ke wajahnya.

              “Cha, aku pamit. Sorry selama ini aku bersikap salah sama kamu.” Alil beranjak.

              Ocha masih berdiam diri ditempat duduknya. Dia masih belum percaya dengan apa yang dia lalui. 3 tahun mereka pacaran, kini seakan sirna begitu saja oleh hujan yang datang tiba-tiba. Tapi memori tak akan pernah luntur oleh hujan yang deras sekalipun. Justru ingatan akan hal ini akan selalu menjadi kenangan yang tak terlupakan oleh Ocha. Hujan membawanya semakin dalam. Dengan mengusap air matanya, dia melihat Alil melangkah jauh meninggalkannya, bergandengan tangan mersa dengan laki-laki yang tak dikenalnya. END.

0 komentar: