Minggu, 25 September 2016

PANGERAN UNYENG-UNYENG 3 PART 1


Namaku Hirman Setiawan. Orang bilang, di dalam diriku terdapat seribu keunikan yang membuatku berbeda. Entah apa keunikan tersebut aku juga kurang tahu. Tapi keunikan tersebut lebih mengarah ke aneh kata banyak orang. Tapi, ketika mereka ngomong kaya gitu, langsung aja aku balas “Aku itu beda”. So, itu lah pembelaanku terhadap bully an temen-temen yang kadang kurang ajar itu mulutnya.
            Entah apa dasar mereka mengatakan aku aneh. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, kuliah atau pergi entah kemana, aku selalu bercermin dulu deh, dan perasaanku biasa saja, gak ada yang aneh pada diriku. Atau memang hanya perasaanku saja ? Atau ada cabe yang nempel di gigiku ? Ah, masa tiap hari ada cabe nempel di gigi?
            Sebenernya aku sendiri juga merasa aneh pada diriku sendiri. (Yah akhirnya mengakui dirinya sendiri aneh) Bukan begitu sih, lebih tepatnya, aku merasa sejak kecil bahwa aku itu adalah seorang pemeran utama disetiap laga. Ciiiyyyeee PD banget. Ya, memang kenyataannya aku selalu berpikir demikian, entah apakah orang lain juga berpikir bahwa dia adalah pemeran utama juga atau hanya aku saja? Belum pernah aku bertanya pada orang lain. Tapi, faktanya aku adalah orang yang pemalu, jadi kalo dibilang PD (percaya diri) menurutku sangat jauh dari PD. Kata temen-temen aku kurang confident.
            Entah darimana aku berpikir bahwa aku adalah pemeran utama. Mungkin karena pengaruh lingkungan sejak kecil sehingga membuatku seperti ini. Ya, kalau dikata aku memiliki seribu keunikan, bolehlah boleh, tapi kalo keanehan janganlah.
            Sejak kecil, bahkan sejak lahir aku memiliki keunikan yang luar biasa. Keunikan apa saja ya? Yang pertama, aku lahir memiliki 3 unyeng-unyeng (pusaran yang ada di rambut). Kata orang, kalo anak punya 3 unyeng-unyeng  anak itu bakal nakal. Lebih anehnya lagi, unyeng-unyengku yang satu berada di depan. Aku juga heran kenapa ada unyeng-unyeng  disitu. Mungkin ini gara-gara karma dari bapakku. Dulu, ketika aku masih di kandungan ibuku, bapakku datang menjenguk temannya yang melahirkan, dilihatnya bayinya itu, nah bayi itu punya unyeng-unyeng yang berada di depan. Lalu bapakku bilang “Wah gantengnya anak ini punya unyeng-unyeng di depan hehehe.” Katanya dengan bercanda. Eh, ternyata karma pun tiba menimpa anaknya sendiri. Alhasil akupun jadi korban. Punya unyeng-unyeng 3 dan satu berada di depan pula.
            Kata orang-orang di desaku, anak yang punya unyeng-unyeng 3 itu bakal jadi anak nakal. Dan mitos itupun terjadi. Semenjak aku lahir, orang tuaku bukannya senang justru dibuat kebingungan gara-gara aku. Ya, sejak aku dilahirkan aku menangis tiada henti setiap malam selama satu minggu. Entah aku tidak tau kebenaran itu. Yang jelas, tetanggaku, kakekku, dan orang tuaku selalu bercerita seperti itu. Setelah aku memasuki masa balita, mitos itu tetap menghantuiku, aku menjadi anak yang nakal. Kalo aku minta sesuatu, apapun itu harus dituruti, jika tidak aku akan mengamuk, dan menangis tiada henti. Hingga barang-barang yang berada di toko ibukku aku hancurkan gara-gara permintaanku tak diturutin. Masa balita yang hebat dalam diriku yang membuat satu desa tak ada yang tak kenal diriku. Semua orang tau dan kenal dengan kenakalanku, dan aku mejadi topic perbincangan ibu-ibu setiap pagi.
            Kenakalan dan mitos unyeng-unyeng 3 menjadi keunikanku semasa balita. Kemudian semasa TK, keunikan kembali muncul pada diriku dan keunikan ini menjadi keunikanku sepanjang masa. Ya, aku masuk TK, suatu ketika aku naik kelas dan tinggal menunggu setahun lagi, aku akan lulus TK dan masuk SD. Namun, besoknya setelah aku dinaikkan kelas, tiba-tiba aku di turunkan kelas lagi. Waktu itu aku tidak mengerti apa-apa dan menjalani saja. Mungkin para pembaca, aku agak bodoh hingga aku diturunkan lagi, namun jangan salah. Ibuku lah yang menyuruh ibu guru menurunkan kelas, bukan karena aku terlalu bodoh atau bagaimana. Tetapi kejadian ini karena pengalaman orang tuaku yang menyekolahkan kakakku terlalu muda yang membuat dia kurang efisien. Alhasil akibat dari kejadian itu aku menjadi murid yang paling tua sejak TK, SD, SMP, SMA, bahkan kuliah. Aku menjadi orang yang paling tua diantara teman-temanku.
            Oh ya, kembali lagi, kenapa sih aku selalu berpikir bahwa aku adalah pemeran utama? Lingkunganlah yang bertanggungjawab atas ini semua. Karena aku adalah orang yang paling tua diantara teman-temanku, aku menjadi agak berani. Semasa TK, hampir setiap minggu aku membuat temanku menangis. Mengerjainya, membuat keributan di sekolah, membuat orang tuaku bingung, bahkan aku pernah menandatangani buku raport yang seharusnya ditandatangani oleh orang tuaku. Selain itu, aku selalu menjadi ketua kelas di setiap semester di sekolah. Teman-temanku selalu menunjukku menjadi ketua kelas, katanya aku yang paling tua dan selalu dapat rangking. (tanda bahwa aku gak bodoh banget wkwkwk). Gara-gara itu, aku merasa diriku selalu menjadi peran utama di dalam kehidupan ini.
            Ketika aku masuk SD, aku tidak nakal karena aku berada dalam satu sekolah bersama bapakku. Bapakku adalah seorang guru SD. Aku takut jika aku membuat onar, akan mempermalukan bapakku dan takut juga dihukum bapakku disekolah. Akhirnya masa SD terlewati dengan tidak teralu nakal. Kemudian aku masuk SMP, dan disinilah puncak kenakalan dan keunikan terjadi.
            TO BE CONTINUE….

Kamis, 22 September 2016

Sebuah Nama Sebuah Cerita


Halooo ! kenalin nama gue Hirman Setiawan. Eh ralat, namaku Hirman Setiawan. Ya sebenarnya aku gak terlalu suka sama logat loe gue, itu bukan karena gak ada alasan. Alasan pertama sudah jelas lah ya, aku bukan orang Jakarta atau betawi wkwk. Alasan yang kedua, lidahku terasa aneh aja kalo ngucapin loe gue. So, mending pake aku kamu aja ya, biar lebih nasionalis gitu hehe.
            Udah tau kan siapa nama ku, jadi nanti pas dicerita gak perlu tanya-tanya siapa aku. Okey. Sebenarnya namaku itu gak seperti biasanya. Maksudnya gimana tuh gak kaya biasanya ? Spesial ? Istimewa ? Aku rasa nggak deh. Jadi begini, dulu ketika aku lahir, bapakku memberiku nama Herman Setiawan bukan Hirman Setiawan. Tapi entah kenapa di akta kelahiranku tertulis Hirman Setiawan. Lalu, sebenarnya namaku itu pemberian siapa ya ? Bapakku ? atau malah tukang ketik akta kelahiran ? Hal it uterus berputar di otakku sampai sekarang. Gak penting amat wkwkwk.
            Namun, dengan salah ketik nama itu, membuat hidupku menjadi agak sulit. Orang tua ku bersikeras manggil namaku Herman bukan Hirman, alhasil akupun menganggap namaku Herman bukan Hirman. Hal it uterus berlanjut sampai aku kelas 6 SD. Hingga pada akhirnya bapakku sadar, di akta kelahiranku bernama Hirman. Akupun jadi sedikit susah, untuk ujian nasional nama yang terlulis harus sama dengan akta kelahiran jika tidak, maka nilai tidak akan keluar yang artinya tidak lulus. Ya masa ? aku gak lulus SD Cuma gara-gara salah nulis nama ? kan gak lucu juga ? Akhirnya dengan susah payah, akupun berusaha keras supaya aku membiasakan diriku menulis nama Hirman bukan Herman.
            Ujian nasionalpun dimulai dan aku sukses menuliskan namaku Hirman Setiawan bukan Herman Setiawan. Walaupun orang sekitar rumahku dan sekeluargaku masih memanggilku dengan Herman.  Aku berhasil lulus ujian nasional SD tanpa salah nama, itu adalah suatu kebanggaan tersendiri yang pernah kurasakan.
            Perihal nama, tidak begitu saja lepas dari diriku. Masalah nama ini terus saja berlanjut hingga dewasa. Beberapa aku lalui dengan baik, tapi beberapa justru menimbulkan polemic yang mendalam. Seperti halnya namaku yang berubah dari ibu kantin smp ku. Saat itu smp adalah saat-saat paling nakal, paling konyol paling gila dihidupku. Yah, salah satunya panggilan konyol yang dinobatkan ibu kantin smp ku. Namanya “Mbak Tengah” memang sih bukan nama aslinya, tapi aku menjulukinya seperti itu karena mbak Tengah ini posisi kantinnya berada paling tengah, jadi aku panggil aja mbak tengah. Eh, temen-temen semuanya jadi manggil mbak tengah. Sampai sekarang akupun gak pernah tau siapa nama mbak tengah itu hehe.
            Kembali lagi soal namaku, mbak tengah inilah satu-satunya yang manggil aku dengan sebutan yang berbeda. Kalau temen-temen sih biasa manggil aku “kremon” car abaca “mon” nya seperti “moon”(bulan) bukan “mon” (temon). Nah panggilan temen-temen kaya gitu, Cuma itu biasa sih, diplesetkan dari nama asli. Tapi, mbak tengah ini beda. Sejak pertama kesana, dan dia tanya namaku.
            “Eh, kamu namanya siapa ?” Tanya mbak tengah.
            “Hirman mbak.” Jawabku
            “Owalah, rumah kamu mana ?” tanyanya lagi.
            “Bungkal mbak, sana mbak selatan sana.”
            “Oooh, jauh ya rumahmu, ke sekolah naik apa ?”
            “Biasalah mbak, naik sepeda ontel”
            “Emang kamu kuat ? Badanmu kecil kaya gitu ?” Tanya mbak tengah ragu
(Memang postur tubuhku relative kecil daripada teman-temanku.)
            “Yaelah mbak jangan menilai dari fisiknya, tapi dari hatinya. Jangankan Bungkal sini mbak, ke Sawoo (salah satu kecamatan yang berada di gunung) aja aku kuat mbak.” Jawabku dengan sombong
            “Hehehe, bercanda min bercanda.” Jawabnya sambil ketawa kecil.
            “Min ?? Min siapa mbak ?” Tanyaku heran karena hanya ada aku disana
            “Namamu tadi Hermin kan ?” sambil garuk-garuk kepala.
            “Yaelah mbak, Hirman mbak, bukan Hermin.” Jawabku kesel.
            “Loh beda to ? yowes pokoknya itulah, susah bener namamu.”
            Sejak saat itu ketika aku ke kantin mbak Tengah, aku gak pernah dipanggil Hirman atau Herman, tapi malah Hermin. Ya ampun jadi kaya banci gitu namaku, sedih banget. Untungnya sih, temen-temenku gak manggil itu, masih aman lah bukan dikira banci.
            Hampir tiga tahun nama Hermin melekat padaku, tapi mbak Tengah saja sih. Masuk SMA, aku berharap gak berubah lah nama ini. Biarlah Hirman saja ya atau mentok-mentok Herman gapapa lah tapi jangan Hermin, malu gaes. Akhirnya selama SMA nama ku gak berubah, dan aku sangat bersyukur nama Hirman masih tetap sama.
            Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Aku kuliah di salah satu universitas negeri di kota Surakarta. Di sana lingkungannya nyaman, orangnya ramah-ramah. Tapi, entah gimana aku di takdirkan mendapat kos-kosan dimana kos-kosan ini isinya orang batak. Jadi ya sama aja lingkungannya ramah kalo temen-temen sekosan orang batak yang notabennya nadanya tinggi-tinggi banget. Sebenarnya sih bukan orang batak aja sih, ada juga yang jawa, tapi mayoritas mereka di kamar atas, sedangan orang batak ini banyak yang berada di bawah, dan entah kebetulan atau gimana aku kebagian kamar yang di bawah.
            Suatu ketika, aku berkenalan dengan salah satu orang batak ini, tapi orangnya berbeda dengan orang batak yang lainnya dia lumayan kalem. Dia asli orang medan kuliah di sini. Namanya Daniel. Bacanya tetep dieja ya DANIEL bukan DANIL. Gak tau kenapa tuh pengennya kaya gitu.
            “Haloo bang.” Sapa ku ke bang Daniel.
            “Halooo, kamu yang di kamar no 27 itu ya ?” Tanya bang Daniel.
            “Iya bang, Aku Hirman.” Sahutku.
            “Oh, aku Daniel.” Jawabnya.
            “Oh bang Danil ?” aku memastikan namanya.
            “Bukan Danil, tapi Daniel.” Jawabnya
            “Oh, Daniel, oke bang.”
            “Kamu tadi siapa ? Herman ?” Tanyanya memastikan.
(Wah ini, muncul perasaan gak enak nih, bakalan berubah lagi ini nama kayaknya)
            “Bukan bang, Hirman, pake i.” Tuturku.
            “Owalah Hermin ?” Sahutnya enteng.
            “Hirman bang, Hirman.” Jelasku lagi.
            “Yaa sama aja kali kenapa lah kau ini, katanya pakai I punya ? macam mana kau ini ?” Sahutnya dengan logat bataknya yang keras.
            Kampret emang ini orang, namanya sendiri ejaanya salah aja marah-marah, giliran nama orang lain aja di sama-samain. Entah sihir dari mana, semua orang batak yang ada di kamar bawah nggak ada yang gak panggil aku Hermin. Dan sampai sekarang nama panggilan itu masih melekat padaku. Entah sampai kapan nama itu akan selalu terngiang di telinga ini. Apalagi dengan nada batak itu, aduuuuh jadi pusing pala ente. Yah semoga aja cepet kelar orang-orang ini supaya nama keren pemberian bapakku gak meleneng jadi Hermin. Dan pesan satu lagi buat para pembaca, namaku bukan Herman atau Hermin, tapi HIRMAN. Ingat!