Kamis, 22 September 2016

Sebuah Nama Sebuah Cerita


Halooo ! kenalin nama gue Hirman Setiawan. Eh ralat, namaku Hirman Setiawan. Ya sebenarnya aku gak terlalu suka sama logat loe gue, itu bukan karena gak ada alasan. Alasan pertama sudah jelas lah ya, aku bukan orang Jakarta atau betawi wkwk. Alasan yang kedua, lidahku terasa aneh aja kalo ngucapin loe gue. So, mending pake aku kamu aja ya, biar lebih nasionalis gitu hehe.
            Udah tau kan siapa nama ku, jadi nanti pas dicerita gak perlu tanya-tanya siapa aku. Okey. Sebenarnya namaku itu gak seperti biasanya. Maksudnya gimana tuh gak kaya biasanya ? Spesial ? Istimewa ? Aku rasa nggak deh. Jadi begini, dulu ketika aku lahir, bapakku memberiku nama Herman Setiawan bukan Hirman Setiawan. Tapi entah kenapa di akta kelahiranku tertulis Hirman Setiawan. Lalu, sebenarnya namaku itu pemberian siapa ya ? Bapakku ? atau malah tukang ketik akta kelahiran ? Hal it uterus berputar di otakku sampai sekarang. Gak penting amat wkwkwk.
            Namun, dengan salah ketik nama itu, membuat hidupku menjadi agak sulit. Orang tua ku bersikeras manggil namaku Herman bukan Hirman, alhasil akupun menganggap namaku Herman bukan Hirman. Hal it uterus berlanjut sampai aku kelas 6 SD. Hingga pada akhirnya bapakku sadar, di akta kelahiranku bernama Hirman. Akupun jadi sedikit susah, untuk ujian nasional nama yang terlulis harus sama dengan akta kelahiran jika tidak, maka nilai tidak akan keluar yang artinya tidak lulus. Ya masa ? aku gak lulus SD Cuma gara-gara salah nulis nama ? kan gak lucu juga ? Akhirnya dengan susah payah, akupun berusaha keras supaya aku membiasakan diriku menulis nama Hirman bukan Herman.
            Ujian nasionalpun dimulai dan aku sukses menuliskan namaku Hirman Setiawan bukan Herman Setiawan. Walaupun orang sekitar rumahku dan sekeluargaku masih memanggilku dengan Herman.  Aku berhasil lulus ujian nasional SD tanpa salah nama, itu adalah suatu kebanggaan tersendiri yang pernah kurasakan.
            Perihal nama, tidak begitu saja lepas dari diriku. Masalah nama ini terus saja berlanjut hingga dewasa. Beberapa aku lalui dengan baik, tapi beberapa justru menimbulkan polemic yang mendalam. Seperti halnya namaku yang berubah dari ibu kantin smp ku. Saat itu smp adalah saat-saat paling nakal, paling konyol paling gila dihidupku. Yah, salah satunya panggilan konyol yang dinobatkan ibu kantin smp ku. Namanya “Mbak Tengah” memang sih bukan nama aslinya, tapi aku menjulukinya seperti itu karena mbak Tengah ini posisi kantinnya berada paling tengah, jadi aku panggil aja mbak tengah. Eh, temen-temen semuanya jadi manggil mbak tengah. Sampai sekarang akupun gak pernah tau siapa nama mbak tengah itu hehe.
            Kembali lagi soal namaku, mbak tengah inilah satu-satunya yang manggil aku dengan sebutan yang berbeda. Kalau temen-temen sih biasa manggil aku “kremon” car abaca “mon” nya seperti “moon”(bulan) bukan “mon” (temon). Nah panggilan temen-temen kaya gitu, Cuma itu biasa sih, diplesetkan dari nama asli. Tapi, mbak tengah ini beda. Sejak pertama kesana, dan dia tanya namaku.
            “Eh, kamu namanya siapa ?” Tanya mbak tengah.
            “Hirman mbak.” Jawabku
            “Owalah, rumah kamu mana ?” tanyanya lagi.
            “Bungkal mbak, sana mbak selatan sana.”
            “Oooh, jauh ya rumahmu, ke sekolah naik apa ?”
            “Biasalah mbak, naik sepeda ontel”
            “Emang kamu kuat ? Badanmu kecil kaya gitu ?” Tanya mbak tengah ragu
(Memang postur tubuhku relative kecil daripada teman-temanku.)
            “Yaelah mbak jangan menilai dari fisiknya, tapi dari hatinya. Jangankan Bungkal sini mbak, ke Sawoo (salah satu kecamatan yang berada di gunung) aja aku kuat mbak.” Jawabku dengan sombong
            “Hehehe, bercanda min bercanda.” Jawabnya sambil ketawa kecil.
            “Min ?? Min siapa mbak ?” Tanyaku heran karena hanya ada aku disana
            “Namamu tadi Hermin kan ?” sambil garuk-garuk kepala.
            “Yaelah mbak, Hirman mbak, bukan Hermin.” Jawabku kesel.
            “Loh beda to ? yowes pokoknya itulah, susah bener namamu.”
            Sejak saat itu ketika aku ke kantin mbak Tengah, aku gak pernah dipanggil Hirman atau Herman, tapi malah Hermin. Ya ampun jadi kaya banci gitu namaku, sedih banget. Untungnya sih, temen-temenku gak manggil itu, masih aman lah bukan dikira banci.
            Hampir tiga tahun nama Hermin melekat padaku, tapi mbak Tengah saja sih. Masuk SMA, aku berharap gak berubah lah nama ini. Biarlah Hirman saja ya atau mentok-mentok Herman gapapa lah tapi jangan Hermin, malu gaes. Akhirnya selama SMA nama ku gak berubah, dan aku sangat bersyukur nama Hirman masih tetap sama.
            Setelah lulus SMA, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Aku kuliah di salah satu universitas negeri di kota Surakarta. Di sana lingkungannya nyaman, orangnya ramah-ramah. Tapi, entah gimana aku di takdirkan mendapat kos-kosan dimana kos-kosan ini isinya orang batak. Jadi ya sama aja lingkungannya ramah kalo temen-temen sekosan orang batak yang notabennya nadanya tinggi-tinggi banget. Sebenarnya sih bukan orang batak aja sih, ada juga yang jawa, tapi mayoritas mereka di kamar atas, sedangan orang batak ini banyak yang berada di bawah, dan entah kebetulan atau gimana aku kebagian kamar yang di bawah.
            Suatu ketika, aku berkenalan dengan salah satu orang batak ini, tapi orangnya berbeda dengan orang batak yang lainnya dia lumayan kalem. Dia asli orang medan kuliah di sini. Namanya Daniel. Bacanya tetep dieja ya DANIEL bukan DANIL. Gak tau kenapa tuh pengennya kaya gitu.
            “Haloo bang.” Sapa ku ke bang Daniel.
            “Halooo, kamu yang di kamar no 27 itu ya ?” Tanya bang Daniel.
            “Iya bang, Aku Hirman.” Sahutku.
            “Oh, aku Daniel.” Jawabnya.
            “Oh bang Danil ?” aku memastikan namanya.
            “Bukan Danil, tapi Daniel.” Jawabnya
            “Oh, Daniel, oke bang.”
            “Kamu tadi siapa ? Herman ?” Tanyanya memastikan.
(Wah ini, muncul perasaan gak enak nih, bakalan berubah lagi ini nama kayaknya)
            “Bukan bang, Hirman, pake i.” Tuturku.
            “Owalah Hermin ?” Sahutnya enteng.
            “Hirman bang, Hirman.” Jelasku lagi.
            “Yaa sama aja kali kenapa lah kau ini, katanya pakai I punya ? macam mana kau ini ?” Sahutnya dengan logat bataknya yang keras.
            Kampret emang ini orang, namanya sendiri ejaanya salah aja marah-marah, giliran nama orang lain aja di sama-samain. Entah sihir dari mana, semua orang batak yang ada di kamar bawah nggak ada yang gak panggil aku Hermin. Dan sampai sekarang nama panggilan itu masih melekat padaku. Entah sampai kapan nama itu akan selalu terngiang di telinga ini. Apalagi dengan nada batak itu, aduuuuh jadi pusing pala ente. Yah semoga aja cepet kelar orang-orang ini supaya nama keren pemberian bapakku gak meleneng jadi Hermin. Dan pesan satu lagi buat para pembaca, namaku bukan Herman atau Hermin, tapi HIRMAN. Ingat!

0 komentar: