MENENTUKAN KADAR NaOH PADA PROSES
BLEACHING SECARA ACIDIMETRI
DISUSUN OLEH :
A1
Anisa
Rizki Nabila (I8314006)
Hirman
Setiawan (I8314025)
PROGRAM
STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA
JURUSAN
TEKNIK KIMIA
FAKULTAS
TEKNIK
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa. Berkat rahmat, nikmat serta hidayah-Nya, penulis mampu menyelesaikan
sebuah makalah yang berjudul “Menentukan Kadar NaOH pada Proses Bleaching
Secara Acidimetri” guna memenuhi tugas mata kuliah Praktikum Kimia Analisis
Kuantitatif.
Kimia analisis merupakan cabang ilmu
yang mempelajari pemisahan-pemisahan suatu unsur baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Dalam industri, kimia analisis sangat di butuhkan karena berguna
mengidentifikasi suatu unsur atau menentukan kadar unsur atau suatu senyawa.
Selain dalam industri, kimia analisis dapat di terapkan dalam kehidupan
sehari-hari karena sangat mudah melakukannya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini,
tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun, penulis menyadari bahwa
kelancaram dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan
bimbingan teman sejawat serta asisten dosen, sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapu dapat teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat
mengetahui bagaimana menentukan kadar NaOH yang digunakan pada proses bleaching
yang akan di bahas dalam makalah ini. Makalah ini disajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan media sosial.
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca
khususnya mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saya sadar bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya meminta masukan demi perbaikan pembuatan makalah saya di
masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Surakarta, Mei 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bahan baku yang digunkan untuk
membuat pulp pada pembahasan ini adalah kayu pinus merkussi dan kayu alam
tropis. Dalam proses pembuatan pulp bahwa proses yang amat penting adalah
proses bleaching, dimana tujuan dari bleaching adalah menghilangkan warna dari
residu lignin dari pulp untuk meningkatkan brightness, mempertahankan
kesetabilan brightness, kebersihan, dan sifat-sifat lain yang tidak diinginkan,
dengan syarat bisa mempertahankan kekuatan selulosa dan daerah karbohidrat
dalam pulp dari serat yang tidak diputihkan.
Proses Bleaching dilaksanakan secara
bertahap dengan memanfaatkan bahan-bahan kimia. Pada setiap tahap umumnya
digunakan perlakuan kimia dan secara singkat ditunjukkan sebagai berikut :
·
Khlorinasi : Reaksi elemen khlorin
dalam suatu media asam
·
Ekstraksi alkali : Pemisahan rekasi dengan caustic
·
Ekstraksi oksidasi : Ekstraksi oksidasi yang diperkuat
dengan Peroksida
(E/OP)
·
Hypokhlorit : Rekasi dengan hypokhlorit
dalam suasana asam
·
Khlorin Dioksida : Raksi dengan khlorin Dioksida dalam
suasana asam
·
Oksigen : Reaksi dengan elemen O2
yang bertekanan dala
suasana asam.
Karena Khlorinasi menimbulkan banyak
persoalan lingkungan oleh limbah pabrik pengelantang, maka banyak usaha telah
dilakukan untuk mengganti klor atau mengurangi jumlah klor yang digunakan atau
produk-produk klor dalam limbah. Hal tersebut dapat diatasi dengan pemasakan
pulp sampai bilangan kappa yangrendah, hingga mengurangi bahan organic yang
terklorinasi dalam limbah, atau dengan menggantikan klor dengan klor dioksia
dimana ClO2 bertindak sebagai oksidator sehingga menghasilkan
oksida-oksida lignin tanpa senyawa organoklor. Pada tahap ekstraksi digunakan
NaOH bukan sebagai bahan pengelantang tetapi sebagai pelarut komponen lignin,
dan pada tahap ekstraksi stage konsentrasi mempengaruhi banyaknya NaOH yang akan
digunakan atau ditambahkan pada tahap ekstraksi.
1.2
Permasalahan
Pada proses bleaching dalam
pembuatan pulp, proses bleaching di ekstraksi stage menggunkan NaOH untuk
memisahkan tignin dengan selulosa. Dalam proses tersebut sangat diperhatikan
berapa banyak NaOH yang digunakan agar proses bleaching mendapat hasil yang
baik. Jika NaOH yang digunakan sedikit makaa masih besar selulosa yang belum
terpisah dengan lignin dan jika NaOH banyak digunakan maka terjadi kerugian.
Untuk menanggulangi terjadinya hal tersebut maka sangat diperhatikan
konsentrasi NaOH yang digunakan supaya dapat ditentukan jumlah NaOH yang
diperlukan untuk memisahkan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa.
1.3
Tujuan
-
Untuk mengetahui
konsentrasi NaOH yang diperlukan pada ekstraksi stage.
1.4 Manfaat
Sebagai sumber informasi banyaknya NaOH yang
diperlukan untuk memisahkan lignin dengan selulosa agar tidak terjadi kerugian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komposisi
Unsur Kayu
Komponen kimia kayu di
dalam kayu mempunyai arti yang penting, karena menentukan kegunaan sesuatu
jenis kayu. Juga dengan mengetahuinya,
kita dapat membedakan jenis-jenis kayu.
Susunan kimia kayu digunakan sebagai pengenal ketahanan kayu terhadap
serangan makhluk perusak kayu. Selain
itu dapat pula menentukan pengerjaan dan pengolahan kayu, sehingga didapat
hasil yang maksimal. Pada umumnya
komponen kimia kayu daun lebar dan kayu daun jarum terdiri dari 3 unsur.
-
Unsur karbohidrat terdiri dari selulosa
dan hemiselulosa.
-
Unsur non- karbohidrat terdiri dari
lignin.
-
Unsur yang diendapkan dalam kayu selama
proses pertumbuhan dinamakan zat ekstraktif.
Distribusi komponen
kimia tersebut dalam dinding sel kayu tidak merata. Kadar selulosa dan
hemiselulosa banyak terdapat dalam dinding sekunder. Sedangkan lignin banyak
terdapat dalam dinding primer dan lamella tengah. Zat ekstraktif terdapat di luar dinding sel
kayu.
Komponen penyusun
dinding sel adalah komponen kimia yang
menyatu dalam dinding sel. Tersusun atas
banyak komponen yang tergabung dalam
karbohidrat dan lignin. Karbohidrat yang
telah terbebas dari lignin dan ekstraktif disebut holoselulosa. Holoselulosa sebagian besar tersusun atas
selulosa dan hemiselulosa. Selulosa merupakan
komponen terbesar dan paling bermanfaat dari kayu. Jumlah zat selulosa mayoritas 40 %,
hemiselulosa sekitar 23% dan lignin kurang dari 34 %.
1. Selulosa
Selulosa merupakan
komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui
dalam keadaan murni di alam melainkan berkaitan dengan lignin dan hemiselulosa
membentuk lignoselulosa. Selulosa adalah polimer dari rantai unit α-D-1-4
anhidroglukosa (C6H12O6)n, sebanyak 40-60 %
yang terdapat dalam dinding sel pada tumbuhan berkayu. Beberapa ciri-ciri dari struktur selulosa
yang berdasarkan pada karakteristik kimia yang dimiliki adalah dapat mengembang
dalam air, berbentuk kristalin, adanya kelompok fungsional yang spesifik dan
dapat bereaksi dengan enzim selulolitik.
Selulosa sangat erat
berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin dalam lignoselulosa. Selulosa merupakan komponen utama penyusun
dinding sel tanaman. Kandungan selulosa
pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50 % dari berat kering
tanaman
Selulosa merupakan
polimer glukosa dengan ikatan β -1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa
yaitu dimer dari glukosa. Selulosa
terdiri atas 15-14.000 unit molekul glukosa Rantai panjang selulosa terhubung
secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Coughlan,
1989). Panjang molekul selulosa
ditentukan oleh jumlah unit glukan di dalam polimer, disebut dengan derajat
polimerisasi. Derajat polimerasi (DP)
selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 2.000-27.000 unit glukan. Selulosa terdiri dari daerah kristalin dan
daerah amorf (non- kristalin) yang membentuk suatu struktur dengan kekuatan
tegangan tinggi, yang pada umumnya tahan terhadap hidrolisis enzimatik terutama
pada daerah kristalin. Selulosa tidak larut dalam air dingin maupun air panas
serta asam panas dan alkali panas.
Ikatan β-1,4 glukosida
pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan cara hidrolisis
asam atau enzimatis. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi
menjadi etanol.
2.
Lignin
Lignin adalah zat yang
bersama-sama dengan selulosa adalah salah satu sel yang terdapat dalam
kayu. Lignin merupakan suatu
makromolekul kompleks, suatu polimer aromatik alami yang bercabang–cabang dan
mempunyai struktur tiga dimensi yang terbuat dari fenil propanoid yang saling
terhubung dengan ikatan yang bervariasi.
Lignin membentuk matriks yang mengelilingi selulosa dan hemiselulosa,
penyedia kekuatan pohon dan pelindung dari biodegradasi. Lignin sangat resisten
terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia.
Lignin merupakan zat
yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi. Lignin merupakan rantai
dengan karbon-karbon terikat dan ikatan lainnya yang terdiri dari jaringan yang
dihubungkan dengan polisakarida yang terdapat di dalam dinding sel. Lignin banyak pada kelompok kayu daun jarum
yaitu diatas 26 % sedangkan pada kayu daun lebar biasanya kurang dari 26 %.
3.
Hemiselulosa
Hemiselulosa mirip
dengan selulosa yang merupakan polimer gula.
Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa,
hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa terdiri
dari monomer gula berkarbon 5 (C-5) dan 6 (C-6), misalnya: xylosa, mannose,
glukosa, galaktosa, arabinosa, dan sejumlah kecil ramnosa, asam glukoroat, asam
metal glukoronat, dan asam galaturonat.
Xylosa adalah salah satu gula C-5 dan merupakan gula terbanyak kedua di
biosfer setelah glukosa. Kandungan
hemiselulosa di dalam biomassa lignoselulosa berkisar antara 11 % hingga 37 %
(berat kering biomassa).
Struktur hemiselulosa
dibagi menjadi empat kelompok berdasarkan komposisi rantai utamanya yaitu (1)
D- xilan yaitu 1-4β xilosa; (2) D- manan yaitu (1–4)β -D-mannosa; (3)
D-xiloglukan dan (4) D-galaktan yaitu 1-3β -D-galaktosa. Hemiselulosa mudah disubtitusi dengan
berbagai karbohidrat lain atau residu non karbohidrat. Karena berbagai rantai cabang yang tidak
seragam menyebabkan senyawa ini secara parsial larut air. Perbedaan selulosa dengan hemiselulosa yaitu
hemiselulosa mempunyai derajat polimerisasi rendah (50-200 unit) dan mudah
larut dalam alkali, tetapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa
sebaliknya. Kandungan hemiselulosa di dalam biomassa lignoselulosa berkisar antara
11% hinga 37% (berat kering tanur).
Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis daripada selulosa, tetapi gula C-5
lebih sulit difermentasi menjadi etanol daripada gula C-6.
4. Zat Ekstraktif
Zat ekstraktif terdiri
dari berbagai jenis komponen senyawa organik seperti minyak yang mudah menguap,
terpen, asam lemak dan esternya, lilin, alkohol polihidrik, mono dan
polisakarida, alkaloid, dan komponen aromatik (asam, aldehid, alkohol, dimer
fenilpropana, stilbene, flavanoid, tannin dan quinon). Zat ekstraktif adalah komponen diluar dinding
sel kayu yang dapat dipisahkan dari dinding sel yang tidak larut menggunakan
pelarut air atau organic. Kayu teras secara khas mengandung zat ekstraktif jauh
lebih banyak dari pada kayu gubal. Kandungan
zat ekstraktif dalam kayu biasanya kurang dari 10 %.
Kandungan dan komposisi
zat ekstraktif berubah-ubah diantara spesies kayu, dan bahkan terdapat juga
variasi dalam satu spesies yang sama tergantung pada tapak geografi dan
musim. Sejumlah kayu mengandung
senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah
bakteri, jamur dan rayap. Selain itu zat ekstraktif juga dapat memberikan warna
dan bau pada kayu.
5. Abu
Kayu juga mengandung
komponen-komponen anorganik. Komponen
ini diukur sebagai kadar abu yang jumlahnya jarang melebihi 1% dari berat
kering kayu. Abu ini berasal terutama
dari berbagai garam yang diendapkan dalam dinding sel dan lumen. Komponen abu
utama dalam kayu adalah Ca (hingga 50%), K dan Mg, yang diikuti oleh Mn, Na, P
dan Cl. Selain itu juga masih terdapat
unsur-unsur lain yang disebut sebagai unsur runut dengan konsentrasi di dalam
kayu tidak lebih dari 50 ppm. Mineral
tidak hanya terikat dalam diding sel tetapi juga diendapkan dalam rongga sel
parenkim dan dalam serat libriform.
Endapan mineral kebanyakan terdiri atas kalsium karbonat, kalsium
oksalat dan silikat yang mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Kristal yang muncul dalam kayu setelah
terserang oleh jamur atau bakteri disebabkan oleh hasil metabolik mikroorganisme
tersebut
Abu merupakan senyawa anorganik di dalam
kayu yang dapat dianalisis dengan cara kayu dibakar pada suhu 600-850°C. Komponen utama abu kayu adalah kalium,
kalsium dan magnesium maupun silikon dalam beberapa kayu tropika). Diukur sebagai abu yang jarang melebihi 1%
dari berat kayu kering.
2.2
Acidimetri
Dalam
analisa kimia dipelajari cara – cara yang dipergunakan untuk menyelidiki
susunan suatu zat. Untuk mengetahui unsur atau senyawa yang terdapat dalam
suatu bahan digunakan analisa kualitatif. Sedangkan bila dikehendaki kadar
unsur atau senyawa tersebut digunakan analisa kuantitatif.
Analisa kuantitatif secara sederhana dibagi menjadi 2
golongan yaitu :
1.
Analisa gravimetri
2.
Analisa volumetri
Melalui
analisa gravimetri, sejumlah cuplikan ditimbang kemudian dilakukan suatu reaksi
untuk mengubah zat yang hendak ditetapkan menjadi senyawa lain yamg beratnya
dapat ditentukan. Sedangkan pada analisa volumetri, pengujian dilakukan dengan
cara menentukan volume suatu larutan yang konsentrasinya telah diketahui dengan
tepat, yang bereaksi secara kuantitatif dengan zat yang akan ditentukan.
Acidimetri adalah reaksi netralisasi (dengan metode volumetri / titrasi)
larutan basa dengan larutan standar asam. Larutan standar ialah larutan yang konsentrasinya
telah diketahui dengan teliti, di mana larutan ini setiap liternya mengandung
sejumlah gram ekivalen tertentu. Larutan standar yang dibuat dari zat dengan
kemurnian yang tinggi, dan dapat langsung dipergunakan sebagai larutan standar
dalam proses titrasi (tanpa distandarisasi terlebih dahulu) disebut larutan
standar primer. Apabila larutan standar
itu dibuat dari zat yang tidak mempunyai kemurnian tinggi, sehingga
masih perlu distandarisasi lebih dahulu dengan larutan standar primer, disebut
dengan larutan standar sekunder.
Untuk membuat larutan standar dengan normalitas N dan volume V dari zat
cair dengan massa jenis (kerapatan) L dan kadar K %, maka banyaknya volume zat
cair yang akan diencerkan dapat dihitung dengan cara berikut.
Misal : pembuatan
larutan asam polibasis (HnA) yang normalitasnya N sebanyak V ml,
maka : HnA = N x V mgrek
HnA = N
x V / n mmol
Jika berat
molekul asam tersebut = M gram /mol, maka :
HnA = N
x V x M / n mgram
Zat cair HnA
dengan kerapatan (masa jenis) L gram / ml, mengandung arti setiap ml zat cair
tersebut beratnya L gram.
Jika kadar
zat cair HnA = K %, berarti setiap 100 ml zat cair tersebut
terkandung HnA murni sebanyak K ml, dan beratnya = K x L gram = 1000
K x L gram
Jadi setiap
100 ml HnA = 1000 K x L gram
Tiap 1 ml HnA = (1000 / 100) K x L mgram
= 10 K x L mgram
Seandainya
banyaknya zat cair yang akan diencerkan = a ml, maka
beratnya =
10 x a x K x L mgram
Sehingga 10 x a x K x L = N x V x M / n
a = N x
V x M / (10 x n K x L)
dengan : a =
volume zat cair yang akan diencerkan, ml
N =
normalitas larutan yang akan dibuat, mgrek / mL
V = volume
larutan yang akan dibuat, ml
M = berat molekul zat cair tersebut
n = valensi, grek / mol
K = kadar zat cair, K %
L = kerapatan, masa jenis zat cair, gram/ml
Jika larutan standar berasal dari zat padat, maka cara pembuatannya dengan
cara menimbang zat padat tersebut dan kukan dengan cara pengenceran. Bila
diketahui terlebih dahulu berapa konsentrasi larutan asal yang harus
diencerkan, maka pengenceran dapat dihitung dengan perhitungan sebagai berikut
: M1 x V1 = M2 x V2
dengan :
M1 =
molaritas larutan asal
V1 =
volume larutan asal yang diambil
M2 = molaritas larutan standar yang akan
dibuat ( setelah pengenceran)
V2 = volume larutan
standar yang akan dibuat (setelah pengenceran)
Prinsip titrasi (netralisasi) adalah menentukan banyaknya
asam atau basa yang secara kimia tepat ekivalen (setara) dengan banyaknya asam
atau basa yang terdapat dalam larutan. Apabila larutan asam maupun larutan basa
adalah elektrolit kuat, maka larutan akhir pada titik ekivalen akan bersifat
netral yaitu pH larutan = 7. Tetapi apabila salah satu larutan asam atau basa
adalah elektrolit lemah, maka larutan akhir pada titik ekivalen merupakan garam
terhidrolisis, sehingga pH larutan dapat dihitung dengan rumus :
a.
Hidrolisis garam menghasilkan basa lemah
dan basa kuat
pH = ½ p Kw –
½ p Kb – ½ log Cg
b.
Hidrolisis garam menghasilkan asam lemah
dan basa kuat
pH = ½ p Kw +
½ p Kb + ½ log Cg
dengan :
Kw = tetapan kesetimbangan air = 10-14
pada 25OC
Ka = tetapan kesetimbangan asam
Kb = tetapan kesetimbangan basa
Cg = konsentrasi garam
Saat
tercapainya titik ekivalen dalam suatu titrasi pada umumnya dapat diketahui
karena terjadinya perubahan yang jelas dalam larutan. Perubahan tersebut dapat
disebabkan oleh :
a.
Larutan standarnya sendiri, misalnya
pada permanganometri.
b.
Penambahan larutan lain, yang digunakan sebagai zat penunjuk
yang mempunyai warna berbeda dalam setiap suasana larutan, yang bergantung pada
pH larutan, zat penunjuk tersebut dinamakan indikator.
Perubahan pH
larutan yang menyebabkan terjadinya perubahan warna indikator disebut daerah
interval (kisaran) pH, sedangkan perubahan warna pada pH tersebut dinamakan
daerah interval (kisaran) perubahan warna.
Tabel 1. Daerah
Interval (kisaran) pH pada beberapa jenis Indikator
No.
|
Nama Indikator
|
Kisaran pH
|
Warna dalam larutan
|
|
1.
|
Metil
orange
|
3,1
– 4,4
|
Merah
|
Orange
|
2.
|
Metil
merah
|
4,2
– 6,2
|
Merah
|
Kuning
|
3.
|
p-nitrofenol
|
5,6
– 7,6
|
Tak
berwarna
|
Kuning
|
4.
|
Bromothymol
biru
|
6,0
– 7,6
|
Kuning
|
Biru
|
5.
|
Fenol
merah
|
6,8
– 8,4
|
Kuning
|
Merah
|
6.
|
Fenol
talein
|
8,3
– 10,5
|
Tak
berwarna
|
Merah
|
7.
|
Thymolphtalein
|
9,3
– 10,5
|
Tak
berwarna
|
Biru
|
8.
|
Alizarin
kuning
|
10,1
– 12,0
|
Kuning
|
Orange
|
Sumber
: Petunjuk praktikum kimia analisis kuantitatif
Jadi dalam
suatu titrasi asam-basa, ketelitiannya tergantung pada pemilihan daerah kisaran
pH dari indikator terhadap pH titik ekivalen.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Peralatan dan Bahan
Alat dan skema rangkaian alat
Alat yang digunakan :
1. Buret dan statif 7.
Timbangan
2. Pipet
volume 25 ml, 10 ml 8. Corong
3. Pipet ukur
10 ml 9. Gelas ukur 100 ml
4. Erlenmeyer 250 ml 10.
Pipet tetes
5. Labu takar 100 ml, 250 ml 11. Gelas beaker 250 ml
6. Gelas beaker 600 ml 12.
Pengaduk
Keterangan
:
1.
Buret
2. Klem
3. Statif
4. Erlenmeyer
5. Keramik
Gambar
3.1.1. Rangkaian alat titrasi
Bahan
Bahan yang digunakan :
1. Larutan HCl 0,5 N 4.
NaOH
2. Aquades 5.
Indikator Phenolftalein (PP)
3. Bubur kayu
3.2 Prosedur
1. Diambil sample ½ liter dari
vat washer lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisa
2. Dipipet sebanyak 2 ml dengan
menggunakan pipet volume
3. Dimsasukkan kedalam
erlenmeyer 250 ml
4. Ditambahkan 3 tetes
indikator phenolftalein dan dititrasi dengan HCl 0,5 N Sampai terjadi perubahan
warna dari bening menjadi merah rose
5. Dicatat volume HCl 0,5 N
yang terpakai
Konsentrasi NaOH = Vt
x N HCl x BM
Volume sampel
Keterangan :
Vt = Volume titrasi
N = Normalitas HCl
BM = Massa atom relative NaOH
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Pembahasan
Acidimetri adalah reaksi netralisasi (dengan metode volumetri / titrasi)
larutan basa dengan larutan standar asam. Larutan standar ialah larutan yang
konsentrasinya telah diketahui dengan teliti, di mana larutan ini setiap liternya
mengandung sejumlah gram ekivalen tertentu. Larutan standar yang dibuat dari
zat dengan kemurnian yang tinggi, dan dapat langsung dipergunakan sebagai
larutan standar dalam proses titrasi (tanpa distandarisasi terlebih dahulu)
disebut larutan standar primer. Apabila larutan standar itu dibuat dari zat yang tidak mempunyai
kemurnian tinggi, sehingga masih perlu distandarisasi lebih dahulu dengan
larutan standar primer, disebut dengan larutan standar sekunder.
Dalam proses titrasi digunakan indikator Phenolftalein yang mempunyai
trayek pH 8,3 – 10,5. Kisaran pH ini sesuai dengan daerah ekivalen proses titrasi. Pada saat
mencapai titik ekivalen larutan akan berubah warna menjadi merah muda.
Konsentrasi merupakan banyaknya zat
terlarut yang terdapat dalam suatu pelarut atau larutan. Adapun tujuan dari
konsentrasi ini untuk mengetahui jumlah NaOH yang akan digunakan pada
extraction stage dip roses bleaching. Dimana zat NaOH (kaustik) disini
berfungsi untuk memisahkan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Oleh karena
itu pada proses bleaching diperhatikan NaOH yang digunakan.
Dalam
proses bleaching sangat diperhatikan jumlah NaOHyang digunakan agar mendapat
hasil yang baik, dimana jika NaOH yang digunakan sedikit maka masih banyak
lignin yang belum terpisah dengan selulosa dan jika NaOH yang digunakan banyak,
maka akan terjadi kerugian. Untuk menanggulangi hal tersebut target yang akan
dicapai yaitu 94 - 120 g / L supaya tidak terjadi kelebihan dan kekurangan NaOH
sehingga mendapat hasil yang baik. jika konsentrasi suatu zat tinggi maka
semakin cepat bereaksi, dengan pernyataan demikian dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH maka semakin cepat bereaksi
untuk memisahkan lignin dengan selulosa sehingga NaOH yang digunakan semakin
sedikit.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Konsentrasi
NaOH yangdigunakan pada proses bleaching tahap extraction stage adalah dengan
range 94 – 120 g / L. Pada kisaran tersebut lah konsentrasi NaOH yang optimal,
agar tidak terjadi kerugian.
5.2
Saran
Diharapkan
supaya dalam menganalisis konsentrasi NaOH benar-benar teliti dan tepat
sehingga memperoleh hasil yang maksimal. Karena kesalahan sekecil apapun akan
sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Setyawardhani, Dwi Ardiana.2014.Petunjuk Praktikum Kimia Analisis
Kuantitatif.Surakarta
Sinaga,
H. L. R Menentukan Konentrasi NaOH Secara
Asidimetri Pada Proses
Bleaching
di PT. Toba Pulp Lestari Tbk PORSEA
. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13895/1/09E02429.pdf
ANONIM.
Komponen Kimia Dalam Kayu
https://icl.googleusercontent.com/?lite_url=https://raymoon760.wordpre
s.com/2013/09/21/komponen-kimia-kayu/&ei=2NZqFYc2&lc=id
ID&s=1
0 komentar:
Posting Komentar